Oleh: M. Rizal Abd Rahman
Beberapa hari terakhir, perhatian publik terseret oleh komentar miring terhadap kebijakan Gubernur Maluku Utara, Ibu Sherly Laos, yang menaruh perhatian serius pada kebersihan dan kerapian lingkungan kerja di Kantor Gubernur. Segelintir suara sumbang menyebutnya sebagai “gaya hidup berlebihan” atau bahkan “pencitraan belaka”. Tapi narasi seperti ini justru mencerminkan persoalan yang lebih dalam: kita mulai terbiasa meremehkan nilai-nilai dasar yang seharusnya menjadi fondasi dalam pelayanan publik.
Kebersihan bukanlah kemewahan. Ia adalah kebutuhan. Ia bukan sekadar tampilan, melainkan cermin dari cara kita menghargai pekerjaan, rekan kerja, dan masyarakat yang kita layani. Lingkungan kantor yang bersih bukan untuk dipamerkan, tapi untuk membentuk suasana kerja yang sehat, kondusif, dan bermartabat. Ketika meja rapi, lantai bersih, dan udara segar, maka pikiran pun jernih, pelayanan jadi tulus, dan kerja keras terasa lebih ringan.
Ibu Sherly Laos pernah berkata, “Ruang kerja yang kotor membuat kita sulit bernapas.” Ucapan ini bukan sekadar soal debu atau kotoran fisik. Ia menyuarakan beban mental dan emosional yang timbul ketika seseorang dipaksa bekerja di ruang yang tidak layak, tidak manusiawi, dan tidak memberi semangat. Dalam dunia kerja modern, kita tahu dari berbagai riset bahwa lingkungan kerja yang bersih meningkatkan produktivitas, menurunkan stres, dan memperkuat loyalitas pegawai.
Sayangnya, dalam kultur kita, ketika seseorang mulai menata bahkan dari hal sederhana seperti kebersihan muncul cibiran, bukan dukungan. Kita terlalu lama hidup dalam ketidakteraturan, hingga lupa bahwa keteraturan adalah bentuk cinta kepada pekerjaan, kepada pelayanan, dan kepada masa depan daerah kita.
Kritik memang perlu, tapi hendaknya lahir dari pemahaman, bukan dari kebencian. Bukankah lebih baik kita memiliki pemimpin yang peduli dari hal kecil, daripada mereka yang diam dalam kekacauan? Bukankah lebih baik seorang gubernur mengurus kebersihan kantor, daripada membiarkannya seperti gudang tua yang kumuh dan menggerogoti semangat kerja?
Langkah Ibu Gubernur bukan tentang estetika semata. Ini tentang etika kerja, tentang teladan, dan tentang membangun budaya profesional yang selama ini kita rindukan. Mari berhenti mencurigai niat baik. Karena perubahan besar seringkali dimulai dari hal-hal yang kecil, konsisten, dan bermakna.
Pelayanan publik yang bersih, berwibawa, dan manusiawi dimulai dari meja kerja yang bersih dan hati yang bersih.
M. Rizal Abd Rahman
Tokoh Masyarakat Maluku Utara – Pemuda Bobanehena